Monday, August 22, 2016

Tidak Semua Perokok Orang Bodoh


"Perokok itu orang bodoh!"

Sindiran atau celetukan seperti di atas sering terlontar dari kaum anti-rokok terhadap para perokok. Ungkapan yang lebih mirip makian tersebut sudah bukan sesuatu yang aneh.


Entah kenapa kaum anti-rokok begitu benci kepada perokok. Generalisasi atau gebyah uyah sering mereka lakukan terhadap semua perokok. Seakan semua perokok adalah orang bodoh.

Kenyataannya tidak demikian.

Albert Einstein adalah seorang ilmuwan brilian dan ternama. Ia lah yang menemukan rumus E=MC2 yang berujung pada penemuan nuklir. Sulit untuk membantah kejeniusannya.

Ia sangat pandai.

Dan, ia juga seorang pecandu rokok kelas berat.

Einstein mengatakan bahwa rokok membuatnya merasa damai. Ia merokok pada saat bekerja atau melakukan aktifitas lainnya.

Tentu saja, hal ini bukan karena efek dari rokoknya. Tetapi, hal ini hanya menunjukkan bahwa tidak semua perokok orang bodoh. Banyak orang-orang terkenal lainnya yang memiliki pencapaian luar biasa selama hidupnya adalah seorang perokok, contohnya Nat King Cole, seorang penyanyi legendaris.

Lalu mengapa para kaum anti-rokok gemar sekali menjatuhkan vonis orang bodoh pada kaum perokok?

Mungkin karena mereka memandang bahwa kalau seseorang tahu tentang bahaya tetapi mengabaikannya, maka berarti ia tidak bisa memakai logikanya dengan benar.

Meskipun demikian, bukankah banyak orang lain pun melakukan hal yang sama? Seseorang yang selfie di puncak gedung tanpa pengaman, pembalap mobil jelas tahu bahwa ngebut itu bisa berakibat fatal, seorang pelatih singa tahu kalau singa itu dapat membunuh, tetapi mereka semua tetap melakukannya.

Apakah mereka juga bodoh?

Tidak.

Mereka sudah menentukan pilihan dan bagaimana menikmati hidupnya. Bukan karena mereka tidak mampu mempergunakan logika dengan baik dan benar.

Begitupun kaum perokok, mereka bukan tidak tahu bahaya dan efek buruk merokok. Jelas sekali tahu, toh di bungkus rokok saja sudah ada keterangan mengenai akibat merokok. Belum lagi berbagai media massa tidak hentinya bercerita tentang penyakit-penyakit akibat merokok.

Perokok tahu itu. Perokok bukan orang bodoh.

Hanya, mereka sudah memilih jalannya sendiri. Sesuatu yang harus dihargai dan bukan dimaki. Tidak ada larangan untuk merokok di Indonesia. Jadi, seharusnya kaum anti-rokok tidak perlu terlalu berprasangka dengan mengatakan bahwa perokok itu orang bodoh.

Nah, tetapi saya juga akan mendukung sebutan "perokok itu orang bodoh" pada mereka yang merokok dimana ada tanda larangan merokok, atau di rumah sakit, atau di kendaraan umum, perokok yang membuang sampah sembarangan.

Saya akan berdiri di belakang mereka yang menyebut mereka bodoh. Tetapi tidak untuk semua orang karena kenyataan dan faktanya memang tidak demikian.


Apa Yang Akan Dilakukan Perokok Saat Harga Rokok Naik Menjadi 50 ribu rupiah?

Harga rokok naik hingga 50 ribu rupiah!

Itu topik terhangat yang menghiasi berbagai media massa beberapa hari belakangan ini. Gaungnya memang sangat santer di kalangan pecinta lintingan tembakau ini, tetapi tidak juga kalah serunya diskusi tentang hal yang sama di lingkungan mereka yang anti rokok.

Meskipun sejauh ini masih menjadi wacana, berbagai selentingan beredar dengan cepat dari handphone ke handphone dalam bentuk pesan berantai via Whatsapp, BBM, Facebook dan media sosial lainnya.

Pernyataan bahwa pemerintah belum akan langsung menaikkan harga eceran rokok sebesar itu bahkan tidak juga menyurutkan rumor ini.

Seru membacanya.

Tidak kalah serunya adalah memperhitungkan kira-kira langkah apa yang akan diambil, bukan oleh pemerintah, tetapi oleh para perokok sendiri bila hal itu menjadi kenyataan.

Saya pun memikirkannya.

Apa yang saya, sebagai seorang perokok saat tulisan ini dibuat, ketika harga rokok naik hingga Rp. 50.000.-/bungkus?

Bukan sebuah hal yang main-main karena kenaikannya itu mencapai 2 1/2 kali harga sebungkus Sampoerna Mild yang saya isap setiap harinya.

Menjadi perokok bukan berarti saya menjadi orang bodoh, seperti yang diklaim kaum anti rokok. Otak kami sebagai perokok pun masih mampu berpikir dengan baik, bahkan tidak jarang melebihi kemampuan kaum anti rokok untuk memecahkan masalah.

Nah, setelah ditimbang-timbang, ternyata ada beberapa opsi kemungkinan yang akan dilakukan para perokok dalam menghadapi masalah tersebut.

Yang akan dilakukan perokok saat harga rokok naik menjadi 50 ribu rupiah

1) Berhenti merokok total

Kalau saat ini saya mengeluarkan uang sebesar Rp. 20 ribu setiap harinya untuk sebungkus rokok, setelah kenaikan berarti paling tidak angka tersebut naik 1 1/2 kali lipat alias Rp 30 ribu. Sebulan uang yang dikeluarkan menjadi Rp 1.5 juta rupiah, minimal dari sebelumnya Rp. 600 ribu.

Kata minimal saya pakai karena kenyataan di lapangan harga eceran tersebut bisa lebih tinggi lagi, tergantung pedagangnya.

Bukan angka yang rendah bagi banyak kalangan perokok.

Pengeluaran sebesar itu jelas akan mempengaruhi APBRT (Anggaran Pendapatan dan Belanja Rumah Tangga). Bila terus dipaksakan akan ada pemotongan dana bagi pos-pos rumah tangga yang lain, hanya untuk memenuhi kesukaan akan asap rokok.

Pilihan akan menjadi jelas bagi banyak orang, mereka akan mendahulukan keperluan dapur dibandingkan dirinya. Lagipula, dengan berhenti merokok, maka kesehatan tubuh akan menjadi lebih baik. Dorongan untuk berhenti merokok akan lebih kuat lagi.

Jadi, pilihan yang akan cukup banyak diambil adalah berhenti merokok secara total.



2) Mengurangi Frekuensi Merokok

Tidak semua akan terdorong untuk berhenti merokok. Kajian tentang kenaikan harga rokok memperhitungkan bahwa hanya 30-40% perokok saja yang akan berhenti merokok.

Berarti masih ada sekitar 60-70% yang akan melanjutkan hobinya.

Hanya tentu saja, mereka pun akan menghadapi kendala biaya yang membengkak untuk melakukan yang disukainya. Mereka pun tetap akan memperhitungkan kondisi anggaran rumah tangga juga.

Jadi, akan ada perokok yang akan tetap melakukan kebiasaannya, tetapi dalam frekuensi yang lebih sedikit. Mereka akan membuat budget tertentu yang tidak mengganggu APBRT dan menyesuaikan kebiasaan merokoknya dengan budget yang tersedia.

Jelas, dengan budget yang sama, jumlah batangan rokok yang diperoleh akan semakin sedikit. Oleh karena itu maka jumlah rokok yang dihisap perhari akan berkurang.

3). Mencari rokok murah

Harga rokok naik disebabkan oleh kenaikan harga pita cukai. Bukan harga rokok dari pabriknya.

Jadi, akan banyak sekali tumbuh industri rumahan yang menjual rokok secara sembunyi-sembunyi dan tidak diperlengkapi dengan pita cukai rokok pemerintah. Harganya tentu akan dibawah harga rokok bercukai.

Juga, kenaikan pita cukai tidak dikenakan terhadap produk tembakau kering yang bukan rokok. Perokok dapat membelinya dengan bebas tanpa kena pengaruh harga cukai rokok. Mereka akan melintingnya sendiri atau bisa juga memakai pipa atau cangklong.

Tentu saja harganya akan juga naik, tetapi tetap akan lebih murah dari Rp. 50 ribu.

Belum lagi, bisa dipastikan akan ada penyelundupan rokok dari luar negeri dengan harga murah. Salah satu kemungkinan yang akan dimanfaatkan para perokok mencari rokok murah.

4) Beralih ke rokok elektronik

Kenaikan harga tidak dikenakan pada rokok elektronik. Memang tetap akan ada kenaikan harga pada jenis rokok yang satu ini, tetapi itu disebabkan oleh permintaan yang akan meningkat seiring kenaikan harga rokok mejadi 50 ribu perbungkus.

Jumlahnya tidak akan terlalu besar karena setelah beberapa saat kemungkinan suplai rokok elektronik akan banyak. Banyak pihak akan bergegas memproduksi barang ini untuk mengisi kekosongan yang diakibatkan harga rokok yang mahal.

Hasilnya, perokok akan memiliki alternatif lain untuk menyalurkan kebiasaannya mengisap asap rokok ke rokok elektronik.

5) Bekerja lebih keras

Mungkin? Mungkin saja.

Kalau kebutuhan akan rokok susah dikurangi, beralih ke produk lain juga susah karena cita rasa yang berbeda, satu-satunya jalan adalah memperbesar pemasukan rumah tangga.

Kalau pemasukan besar, ratio yang dikeluarkan untuk rokok akan tetap sama . Istri pun akan tetap senang karena mereka akan mendapatkan uang lebih banyakdari sebelumnya.

Akan tetap ada kemungkinan perokok yang mencari kerja sampingan supaya memiliki income lebih yang bisa dipergunakan untuk membeli rokok.



Tidak mudah.

Naiknya harga rokok menjadi 50 ribu tidak akan menghentikan kebiasaan mengisap asap tembakau banyak orang secara seketika. Kecanduan akan rokok justru akan membuat para perokok yang terdesak mencari sumber lain untuk memenuhi "kebutuhan"nya itu.

Terutama di Indonesia, dimana orang-orangnya sudah terbiasa hidup terdesak oleh keadaan. Pikiran mereka akan terus berjalan untuk mencari berbagai cara memenuhi kesukaannya tersebut.